Transformasi Labelisasi Politik: Dari Cebong-Kadrun ke El Chef, Gemoy dan Chudai

T. R. Muda D. Bentara
3 min readJan 11, 2024

--

Karya dan property http://pinterpolitik.com

Politik Indonesia memang harus dinikmati secara riang gembira—tentunya selain sepakbola. Sebab kedua ranah ini paling sering membuat orang naik tensi. Satu keluarga pecah. Ayah dan anak tak cocok, hingga bahkan dosen dan anak dara tak berselera mengajar dan masuk kelas hanya karena klub bolanya kalah atau juga calon presiden andalannya di roasting oleh kandidat lainnya yang beraksi layaknya stand up comedian yang sedang mencari mangsa.

Untuk politik, tegangnya urat saraf dan ekspresi riang hadir bergantian. Sebelumnya, selama dua periode pemilu, kita disuguhi polarisasi politik yang sangat memecah belah. Selama dua periode pemilu itu, 2014 dan 2019, kita hanya mengenal dua kubu homo sapien di Indonesia, yaitu kubu Cebong (berudu) dan kubu Kadrun (kadal gurun).

Cebong adalah labelisasi untuk pendukung Jokowi. Dan Kadrun adalah labelisasi untuk pendukung Prabowo. Pendukung Jokowi disebut Cebong karena dianggap kerumunan yang tak memiliki akal, seperti halnya berudu, yang pelabelan itu diambil dari kebiasaan Jokowi yang dalam kampanyenya menggunakan pendekatan politisasi selokan, yang tentunya berisi banyak kecebong di dalamnya.

Sedangkan labelisasi Kadrun untuk pendukung Prabowo hadir karena Prabowo dominan didukung oleh kelompok islamis, yang diasosiasikan seperti seorang Arab yang alim dari negeri yang dominan gurun, sehingga kelompok nasionalis pendukung Jokowi menjuluki mereka sebagai Kadrun, akronim dari kadal gurun.

Pasca Pilpres 2019, setelah Prabowo bergabung ke kabinet Jokowi yang kemudian disusul oleh Sandi Uno, konsep labelisasi Cebong-Kadrun ini sudah mulai hilang orientasi, terutama untuk kelompok yang dilabel Kadrun.

Akan tetapi, pasca Prabowo-Sandi merapat ke Jokowi atas alasan rekonsiliasi yang bertujuan menghilangkan sekat Cebong-Kadrun ini. Pihak nasionalis pendukung Jokowi yang diasosiasikan Cebong tetap memberikan serangan ke pendukung Prabowo yang tak lagi memiliki patron. Sehingga kemudian kelompok ini mengalihkan patronnya ke Anies Baswedan yang kemudian menjadi lawan serangan utama komunitas Cebong, sehingga kemudian kelompok yang dilabel Kadrun ini memiliki patron lagi yaitu Anies, sang Gubernur DKI.

Akan tetapi, seperti saya sebutkan sebelumnya. Pilpres 2019 itu kemudian melunturkan labelisasi Cebong-Kadrun, dan mengembalikan posisi kelompok nasionalis dan islamis ke posisi semula, dengan melakukan tarung tanpa begitu dibumbui oleh label nama hewan.

Lalu setelah dua periode pemilu label Cebong-Kadrun ini eksis, di Pilpres 2024 ini kita disuguhi pelabelan baru yang lebih menarik.

Jika di dua pilpres sebelumnya labelisasi terjadi antara pendukung yang kemudian menciptakan perpecahan yang mengerikan secara horizontal. Akan tetapi kini labelisasi juga terjadi, tapi secara vertikal, tidak melibatkan masyarakat secara langsung, tapi melibatkan elit yang ikut kontestasi.

Puncak labelisasi ini terjadi pada debat capres sesi ke-3 pada 7 Januari lalu yang kemudian memunculkan tiga istilah julukan nama untuk tiga kandidat capres.

Ketiga nama itu beredar awalnya di platform X yang mengerucutkan tiga nama julukan yang secara bersamaan menjadi trending topic di platform X. Ketiga nama tersebut meliputi penjukukan jenama El Chef untuk Anies Baswedan yang didasari narasi “let him cook” karena kemampuannya menggoreng dan melancarkan narasi dan serangan secara agresif terhadap lawan, terutama Prabowo Subianto.

Sedangkan untuk Prabowo, penjulukan jenama untuknya adakah El Gemoy, yang merupakan konsep kampanye yang digaungkan oleh timnya dimana ia mencoba menghadirkan pola kontestasi yang riang gembira, yang sesekali menyelipkan kampanyenya dengan menari kecil dan adegan bunga silat yang terkesan menggemaskan (gemoy).

Sedangkan untuk Ganjar, julukan dan jenama yang diberikan kepadanya hadir pada malam debat dan dipopulerkan oleh akun X Extra Time Indonesia yang melabel Ganjar dengan sebutan El Chudai, yang dalam bahasa India berarti aktivitas seksual; didasarkan pada pengakuan Ganjar tahun lalu di podcast Dedy Cahyadi perihal film porno.

Dalam pandangan saya. Transformasi labelisasi yang sebelumnya bersifat horizontal (Cebong-Kadrun) yang memecah masyarakat dan kemudian labelisasi tersebut bertransformasi menjadi vertikal yang kemudian melahirkan labelisasi El Chef, El Gemoy, dan El Chudai ini menjadi sangat positif untuk mengakhiri polarisasi yang merusak yang pernah terjadi di Pilpres 2004 dan 2019.

Sebab dengan adanya transformasi ini, membuat pelabelan itu bukan kepada rakyat, tapi pelabelan itu beralih kepada elit. Sehingga bukan lagi berbicara massa nasionalis yang disebut Cebong dan massa islamis yang disebut Kadrun mendukung siapa, tapi yang terjadi adakah trio El ini didukung oleh siapa saja, sehingga menjadikan event pilpres kali ini menjadi lebih riang.

Pertanyaannya, dari tiga jenama yang lahir secara natural oleh warga platform X ini, pendukung calon mana yang paling bangga dengan pelabelan nama julukan tersebut. Apakah pendukung Anies “El Chef” Baswedan yang senang menggoreng narasi? Ataukah pendukung Prabowo ‘El Gemoy” Subianto yang sedang memamerkan goyangan dan jurus silat? Ataulah pendukung Ganjar “El Chudei” Pranowo yang jagoannya amat terbuka di podcast Dedy Cahyadi?

Saya sangat penasaran sekali untuk hal ini.

--

--