Tito dan Mundurnya Mahfud
Kemarin, setelah sehari sebelumnya Mahfud MD memutuskan mundur yang pada saat bersamaan munculnya petisi dari segelintir civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia, mundurnya Mahfud ini kemudian menjadi jawaban dari janji yang telah ia ucapkan beberapa waktu sebelumnya bahwa ia akan mundur di waktu yang tepat. Walaupun keputusan mundur tersebut pada dasarnya adalah kesepakatan antara ia dengan Ganjar, jauh-jauh hari sebelumnya.
Mundurnya Mahfud ini tentunya terkait dengan perkara etik. Sebab walaupun secara aturan membolehkan ia tak harus mundur, tapi secara etik hal itu harus ia lakukan, apalagi saat ini tinggal menyisakan satu putaran debat terbuka pasangan calon presiden yang tentunya akan berlangsung secara berdarah-darah.
Hal etik yang melibatkan Mahfud adalah posisinya sebelumya. Di saat bersamaan ia adalah menteri koordinator yang menspervisi lebih 14 kementerian dan lembaga, tapi di saat bersamaan ia selalu mengkritik kebijakan pemerintah, ketika ia bertindak sebagai kandidat wakil presiden. Kontradiksi ini tentunya merugikan pihak pemerintah. Sebab serangan dari orang dalam secara terbuka tentunya akan menghancurkan reputasi pemerintah secara drastis.
Sebelum Mahfud mundur, dan kemudian realisasi pengunduran dirinya, orang-orang bertanya siapa yang akan menduduki posisi sebagai menteri yang akan mengganti posisi Mahfud. Beberapa nama beredar, dari Yusril Ihza mahendra, Jimly Ashidiqy, hingga Kepala KSP Moeldoko.
Tapi kemarin, Jokowi memilih orang lain, ia memilih menteri yang ada di bawah supervisi Polhukam sebagai menteri ad interim, atau menteri sementara, dan posisi itu dijabat oleh Tito Karnavian selaku Mendagri.
Dalam sejarah kepresidenan Jokowi, Tito adalah orang kepercayaannya. Setelah mampu mengendalikan gejolak aksi massa 212 di tahun 2016-2017, mampu mengendalikan jalannya Pemilu 2019, Tito yang saat itu masih aktiv sebagai Kapolri dan akan pensiun beberapa tahun lagi kemudian diangkat oleh Jokowi sebagai Menteri Dalam Negeri di periode kedua masa jabatannya.
Beberapa tahun ini, dalam rezim transisi kepemiluan Indonesia, terutama pemilihan kepala daerah, Tito benar-benar memiliki pengaruh yang sangat besar. Transisi pemilu serentak ini kemudian membuat Jokowi dan Tito ibarat Ketua Umum dan Sekjen partai “baru” dan paling berkuasa di Indonesia. Hal ini terjadi sebab sejak 2022, 2023, hingga 2024, keduanya akan menguasai penunjukan hampir 300 wilayah administratif di Indonesia, yang terdiri dari Provinsi dan Kabupaten/Kota, dimana penunjukan langsung kepala daerah di seluruh wilayah ini, hak prerogatifnya ada pada Jokowi dan Tito.
Kini selain mensupervisi dan mengendalikan hampir 300-an kepala daerah yang tidak berasal dari partai politik, penunjukan Tito sebagai pengganti Mahfud juga makin memperkuat posisinya. Sebab jika sebelumnya keberadaan Tito dibawah Mahfud dan Polhukam dalam bentuk supervisi di bidang politik, maka setelah menjadi menteri ad interim, ia tidak hanya mengendalikan hal politik di level daerah, tapi juga mensupervisi ranah hukum dan keamanan di level nasional.