Prabowo : Dilema Gibran, Erick, dan Yusril
Besok, jika tidak ada aral melintang, Prabowo, cawapres dari Koalisi Indonesia Maju, akan mengumumkan calon wakil presiden yang akan mendampinginya di Pilpres 2024. Di beberapa berita disebutkan jika pengumuman itu akan dilangsungkan pasca rapat ketua umum partai koalisi, yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, dan Gelora.
Uniknya, jika dua hari lalu hampir semua orang yakin bahwa Prabowo akan berpasangan dengan Gibran Rakabu, putra sulung Jokowi, pasca pamannya memutuskan untuk meloloskan putusan untuk membolehkannya maju sebagai cawapres/capres, walau belum berusia 40 tahun. Akan tetapi sejak kemarin, sejak pengumuman Prof Mahfud Mahmudin sebagai cawapres Ganjar Pranowo, maka penentuan siapa yang akan menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto harus dikalibrasi ulang.
Kalibrasi ulang ini seperti anti klimaks. Gibran yang sebelumnya sudah beberapa kali dipinang, Gibran yang sudah disepakati oleh para ketua partai koalisi, dan Gibran yang telah diloloskan oleh Pamannya selaku ketua MK, ternyata belum final untuk menjadi calon wakil Prabowo.
Untuk Gibran, manusia berusia 36 tahun ini adalah figur yang unik. Sebelum pandemi Covid, ketika diwawancara, ia selalu mengatakan bahwa ia tak tertarik dengan politik. Politik tidak menarik baginya. Tapi kemudian, ketika pilkada serentak di masa Covid dilaksanakan, ia kemudian maju sebagai kandidat Walikota Solo, untuk ikut kontestasi di posisi yang dahulu diduduki oleh bapaknya, yaitu Walikota Solo.
Di Solo, Gibran menang mudah. Tentunya banyak sumberdaya yang terlibat memenangkannya. Tentu, untuk orang yang selama 24 jam selalu dalam pengawalan pasukan pengamanan presiden, memenangkan kursi walikota, pasti bukan hal yang sulit (kecuali untuk anak Ma'ruf Amin yang kalah di Pilkada Tangerang).
Tapi, beberapa waktu belakangan, pasca mencuatnya isu bahwa ia akan menjadi cawapres Prabowo, beberapa fakta lama mengemuka. Via Panda Nababan, politisi gaek PDIP, Panda menceritakan kronologi bisa majunya Gibran menjadi walikota Solo.
Dalam tuturan Panda. Sebagai partai kader, PDIP sangat menghargai aspirasi dari bawah. Usulan walikota dilakukan dari struktur paling bawah, hingga kemudian memunculkan satu nama.
Ketika satu nama telah ada untuk dicalonkan, menggantikan FX Rudy yang sudah berkuasa dua periode dan juga sekaligus ketua PDIP Solo, akhirnya datang veto dari pusat, langsung dari Ibu Mega.
Veto dari Mega itu sederhana. Bahwa ia menunjuk Gibran untuk calon walikota Solo, dari PDIP. DPC tentunya tidak bisa membantah, apalagi melawan. Kata Panda, Mega pada dasarnya tidak mau melangkahi wewenang DPC PDIP Solo, tetapi permintaan itu datang dari orang yang amat ia sayangi, yaitu Jokowi.
Sang presiden tersebut secara khusus meminta kepada Mega untuk mencalonkan anaknya, sehingga kemudian, atas persetujuan Mega, Jalan tol membentang luas. Tak ada kendaraan satupun yang lewat, hanya Gibran, dan kemudian dia menang. Telak.
Kemenngan Gibran kemudian menghapuskan semua retorikan yang telah ia lontarkan hampir satu dekade; tak suka politik, tidak tertarik dengan politik, dan politik yang baginya tidak menarik.
Tapi, kemenangan di Solo itu kemudian menumbangkan semua ketidaktertarikan itu, ketidaksukaan itu. Keluarga Jokowi kemudian memasuki eksperimen kekuasaan yang belum pernah dipraktikkan oleh enam presiden lainnya, menduduki jabatan eksekutif secara ramai-ramai dan juga menduduki posisi sebagai ketua partai.
Gibran, Bobby, sang menantu menjadi Walikota. Anak bungsu menjadi ketua Partai, walaupun tak punya kekuatan kendali penuh.
Kembali ke re-kalibrasi cawapres Prabowo, terutama berkenaan dengan Gibran. Hal ini terjadi karena tingginya resistensi warga terhadap putusan ipar Jokowi selaku Ketua MK. Selanjutnya, dipasangnya Ganjar dengan Mahfud, membuat sebagian pendukung mengalihkan dukungan ke pasangan baru ini. Selanjutnya, hal yang juga paling krusial adalah, bahwa sebagian mesin intelektual Jokowi di Istana, kini sudah berpihak kepada Ganjar.
Berbeda dengan SBY, ketika berkuasa, sebagian mesin intelektual di istana bukanlah orang Demokrat. Unit pemikir seperti UKP4 yang dikomandoi oleh Kuntoro Mangkusubroto, berisikan orang orang profesional yang tidak tunduk kepada partai. Akan tetapi di masa Jokowi, sebab ia adalah paket jadi milik PDIP, maka mesin pemikir yang ada di kabinet dan istananya, dominan berafiliasi ke PDIP.
Alm Cornelis Lay, Andi Widjajanto, dan beberapa akademisi pemikir lainnya yang menjadi tumpuan istana, adalah akademisi milik PDIP, yang dititipkan ke Istana. Sehingga ketika PDIP butuh, mereka bisa di-recall kapan saja. Masuknya Andi Widjajanto sebagai Deputi TPN Ganjar dan mundurnya ia dari jabatan Gubernur Lemhanas adalah contoh bagaimana ketika Mega mengaktifkan kembali mekanisme recall terhadap para pemikir yang dia titipkan untuk istana.
Terakhir, kalibrasi terhadap Gibran ini dilakukan oleh Jokowi karena alasan terakhir lainnya. Yaitu upaya penanggulangan resiko bencana seandainya Prabowo dan Gibran tidak menang, dan betapa dahsyatnya daya balas dendam PDIP nantinya.
***
Untuk kandidat kedua, yaitu Erick. Keberadaan dan kemunculannya juga unik. Sebagai pengusaha media yang sering membuat event, ia diamanahkan untuk menjadi ketua panitia event Asian Games 2018. Event itu terlaksana dengan sukses. Kemudian di pemilu 2019, ia diamanahkan menjadi ketua TKN pemenangan Jokowi-Makruf.
Di momen ini, keberadaanya bukan karena ia mumpuni semata, tapi ada alasan lain. Keberadaanya untuk memecah konsentrasi bergabungnya para pengusaha muda pribumi ke kubu Sandiaga Uno yang menjadi wakil Prabowo.
Dengan menjadikan Erick sebagai ketua TKN, konsentrasi para pengusaha itu terpecah, sehingga terpaksa harus bermain di kedua kubu. Erick sukses, dan Jokowi Menang. Kemudian ia diganjar posisi sebagai menteri BUMN. Kementerian kecil yang memiliki daya pengaruh paling raksasa.
Dibawahnya bernaung seratusan BUMN dengan ratusan anak dan cucu perusahaan BUMN. Tanda tangannya berpengaruh terhadap 5000 hingga 8000 orang yang akan menduduki posisi sebagai direktur dan komisaris BUMN, yang tiap tahunnya, keseluruhan BUMN itu mengerjakan proyek yang nilainya 2000-an triliun, hampir setara dengan nilai APBN.
Belakangan, ketika isu pemilu mengemuka, dan gagalnya Jokowi untuk berkuasa selama tiga periode, Erick pelan-pelan masuk dalam bursa. Awalnya popularitas dan elektabilitasnya sangat kecil, tak sampai 3 persen. Tapi lama kelamaan, popularitasnya melesat jauh, menjadi belasan persen dan menjadi yang tertinggi.
Salah satu hal yang menyebabkan popularitasnya naik adalah bahwa kemunculannya yang massif di iklan iklan milik BUMN dan akuisisi terhadap PSSI. Sepakbola sebagai olahraga paling digemari di negeri ini mampu memoles citranya untuk menggeliat tinggi.
Tapi, dari semua itu, untuk pencalonannya sebagai cawapres yang diusung oleh PAN, hal paling utama adalah, bahwa dari semua kandidat cawapres ia adalah representasi dari kalangan dunia usaha, dari kalangan pengusaha. Basis bisnis keluarganya yang bergerak di bidang batubara dan lini lainnya yang bermula dari konglomerasi Astra, membuat ia dianggap sebagai jembatan terbaik bagi kekuasaan dan pengusaha.
Tapi tentunya hal itu tak cukup. Benar di survey ia paling populer, tapi bagaimana dengan elektabilitas? Basis massa? Basis partai? Untuk saat ini, ketiganya belum ia miliki.
PAN sebagai partai pengusungnya adalah partai dua terbawah, setelah PPP. Basis massa yang mungkin ia kapitalisasi hanyalah basis massa pemuda NU, itupun setelah ia menempuh jalur instan ketika menjadi ketua panitia 100 tahun NU. Lalu dari basis wilayah, ia tak memilikinya, walaupun ayahnya berasal dari Lampung, tapi wilayah itu bukan kantung suara. Ini hal yang menjadi dilemma jika ia dipilih sebagai wakil Prabowo.
***
Selanjutnya, calon ketiga adalah Prof. Yusril. Di Indonesia, figur yang punya pengalaman yang mirip dengan Yusril adakah Mahfud. Mereka pernah secara bersama sama menjadi menteri dan saling berganti posisi, di bidang hukum dan HAM. Kedua tokoh ini mewakili kedigdayaan FH UI dan FH UGM.
Perbedaan keduanya adalah, Yusril tidak pernah jadi ketua MK. Sedangkan Mahfud pernah. Akan tetapi walau Yusril tidak pernah menduduki posisi itu, tapi ia pernah memajukan dua kadernya untuk menjadi Ketua MK dan bahkan MA. Di MK ia meloloskan Hamdan Zoelva selaku ketua MK. Di MA, ia meloloskan Bagir Manan selaku ketua MA.
Untuk Yusril, riwayat hasrat kekuasaannya telah berlangsung sejak lama. Di masa Orde Baru, ia adalah kepercayaan Mensesneg Saadilah Mursyid. Dia menjadi anak muda kepercayaan Pak Harto di Bidang hukum. Bahkan berhentinya Pak Harto, pidato tersebut dikonsep olehnya, sehingga menyelamatkan wajah Pak Harto, sebab saat itu Pak Harto bukan mundurr sebagai presiden, tapi berhenti, stop. Tidak melanjutkan.
Pasca lengsernya Pak Harto, ia kembali menjadi penentu dapur istana di masa Habibie. Ketika Habibie lengser, ia ikut meramaikan kontestasi pemilihan presiden di MPR, walau kemudian ia mundur, dan memberikan dukungan ke Abdurrahman Wahid. Selanjutnya ia hingga tiga presiden berikutnya, Gus Dur, Mega, SBY, menduduki posisi kunci di bidang hukum dan internal Istana.
Jika di masa Mega ia menjadi Menkumham, maka di masa SBY ia menjadi Mensesneg. Akan tetapi rivalitasnya dengan Sudi Silalahi selaku Seskab membuat masa jabatannya tidak sampai satu periode karena kemudian ia direshuffle dari jabatan Mensesneg.
Pasca lengser, ia kemudian terlibat perkara hukum, yaitu Sisminbakum dengan Kejaksaan Agung yang dijabat oleh Hendarman Supandji. "Selama lebih satu tahun lebih saya mempelajari hukum pidana" ucap Yusril dalam suatu pertemuan satu dekade lalu di sebuah kampus.
Kasus itu membuat usaha lawfirmnya kritis. Kliennya memutuskan kontrak. Dan ia harus berjuang menyelesaikan kasus itu. Perlawananya membuahkan usaha. Ia menang, dan tidak terbukti bersalah.
Lalu, dengan kemampuan pembacaan celah hukum, ia melawan balik pemerintah, khususnya Jaksa Agung. Celahnya sederhana. Ketika pelantikan kabinet SBY periode dua, Hendarman selaku Jaksa Agung tidak dilantik, sebab jabatannya diteruskan dan diperpanjang. Bagi Yusril itu melanggar aturan, dan jabatan Jaksa Agung tidak sah. Dampaknya, Yusril kembali menang, dsn Jaksa Agung diganti.
Di masa kepemimpinan Jokowi, sepak terjang Yusril menjadi zigzag kembali. Ia kembali memegang tampuk ketua PBB dari MS Kaban. Dan sayangnya, di bawah kepemimpinannya, suara PBB tak cukup untuk menjadi bagian dari parlemen. Partainya tidak lolos PT.
Untuk memperbaiki hal itu, di tahun 2018, ia melakukan hal yang berani. Melawan pemerintah dengan menjadi lawyer HTI yang akan dibubarkan. Di momen ini ia kalah, HTI tetap dibubarkan, dan ia mendapatkan simpati.
Setelah mendapat simpati dari kelompok islamis, ia kembali melakukan eksperimen politik baru. Mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Di pilpres itu Jokowi menang. Tapi partai Yusril tetap kalah, tak lolos PT. Kemudian dia sengketa pemilu, ia mewakili jokowi sebagai lawyer di sengketa di MK atas gugatan yang dilayangkan kubu Prabowo. Dalam sengketa itu, Yusril menang. Dan Jokowi tak terhalang.
Kini, di momen pilpres kali ini, Yusril mendukung Prabowo, teman lamanya ketika masih menjadi bagian orde baru. Oleh sebagian orang, pasca dipilihnya Mahfud sebagai wakil Ganjar, ia digadang gadang sebagai lawan sepadan. Sama sama professor, sama sama berpengalaman.
Tapi, berbeda dengan Mahfud. Walaupun Yusril memiliki rentang start pengalaman yang lebih panjang, tapi untuk saat ini, ia bukanlah orang yang sedang memegang kekuasaan. Mahfud, walaupun memimpin Polhukam dengan 350 staf, akan tetapi kementeriannya itu mensupervisi lebih 15 kementerian lain, sebagai kementerian koordinator.
Selain itu, berbeda dengan Mahfud, Yusril tidak memiliki basis massa di daerah. Ia asli Belitung, Sumatera. Wilayah yang tak diperhitungkan sebagai lumbung suara sedangkan Mahfud berasal dari Jawa Timur, pemilik lumbung suara kedua terbesar di Indonesia.
***
Ini beberapa hal nyata dan dilemma beberapa calon wakil Prabowo yang salah satu diantaranya akan diumumkan esok hari sebagai calon wakil, untuk ikut kontestasi di hari Valentin tahun depan, 14 Februari.
*****
#Banda Aceh