Petisi UGM dan UII Untuk Jokowi: Sebuah Rivalitas Pragmatisme Politik?

T. R. Muda D. Bentara
3 min readFeb 1, 2024

--

Dua hari ini Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) kompak mengkritik Jokowi—dan pasangan calon yang didukungnya. Upaya dua kampus asal Sleman ini tentunya akan berdampak langsung secara positif terhadap elektabilitas dan "keamanan" posisi empat alumni cum dosen sekaligus ketua ikatan alumni—dua kampus ini—yang juga sedang mengikuti kontestasi Pilpres dan akan berlangsung tak sampai dua minggu lagi.

Keempat alumni-dosen-ketua alumni itu adalah paslon nomor urut 01 dan 03, dimana di capres paslon nomor urut 03 yaitu Ganjar Pranowo, selain sebagai alumnus FH UGM, ia juga Ketua Umum KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada), dan Mahfud MD, selain ia sebagai alumnus FH UGM (S1,S2, dan S3), ia juga alumnus UII dan juga tercatat sebagai dosen Fakultas Hukum UII.

Sedangkan di paslon nomor urut 01, Anies Baswedan selaku capres adalah lulusan FE UGM, dan cawapresnnya yaitu Muhaimin juga lulusan UGM dari FISIPOL.

Gerak kompak dua kampus asal Sleman untuk mengkritik Jokowi ini menarik. Sebab selain membawa niat sebagai upaya menjaga gerak demokrasi agar tetap berjalan baik, di layer-layer lain tentunya juga bertengger sentimen lainnya; bahwa secara realistis langkah kebijakan Jokowi yang memihak ke salah satu paslon, akan merugikan dua paslon yang berasal dari dua kampus ini, yang mana dua paslon tersebut adalah anak emas dua kampus tersebut, sebab selain sebagai alumni, mereka juga terdiri dari staf pengajar, ketua alumni, dan pejabat terkemuka yang saat ini berlaga di pilpres Indonesia.

Sebagai pelopor pelaksanaan petisi yang dipimpin oleh Prof Koentjoro dari Fakultas Psikologi UGM, yang berselang sehari kemudian diikuti oleh UII, aksi yang dikomandoi oleh Prof Koentjoro ini menarik.

Untuk professor ini misalnya, di tahun 2019, ketika Amien Rais menyerang dan mengkritik habis-habisan Jokowi, ia adalah pendukung yang menjadi barikade terdepan. Saat itu ia menganggap upaya yang dilakukan oleh Amien Rais yang membawa isu people power adalah hal yang tidak realistis dan tidak menghargai proses demokrasi yang sudah berjalan.

Kemarin, lima tahun kemudian, pada 31 Januari 2024, Koentjoro sedikit mengulangi hal yang sebelumnya ia kritik lima tahun lalu. Dalam pernyataannya kepada awak media pasca pembacaan petisi, ia mewanti-wanti bahwa jika Jokowi tidak menghentikan keberpihakannya, maka akan bisa memunculkan chaos di masyarakat, sebab akan ada petisi-petisi lain dari kampus lainnya yang akan menyusul.

Yang menjadi pertanyaan, bukankah aksi respon UGM dan aksi pemihakan Jokowi jika dipandang dalam sudut pandang pragmatis adalah suatu yang logis dan realistis?

Sebab keduanya di layer-layer tertentu bergerak mendukung dan tidak mendukung satu sama lain karena digerakkan sentimen untuk melindungi bagian dari diri mereka sendiri, yang dalam hal ini dimana Jokowi mendukung pencalonan anaknya, dan Koentjoro dan lainnya mendukung keamanan pencalonan keluarga besar alumni mereka agar tak mendapatkan rintangan dalam meraih kemenangan.

Tentunya pilihan-pilihan yang dibuat tak se-naif jargon melindungi demokrasi seperti yang disebutkan oleh sang professor atau argumen kebolehan keberpihakan dibenarkan oleh undang-undang seperti yang dinyatakan oleh Jolowi.

Bukankah seperti itu? Ya ataupun tidak, semoga kedua pihak; baik pemilik petisi dan Jokowi, mendapatkan titik temu.

***

--

--

T. R. Muda D. Bentara
T. R. Muda D. Bentara

Written by T. R. Muda D. Bentara

Kita melawan karena hak kita dilanggar.

No responses yet