Aliansi Prabowo-Jokowi: Titik Temu Pragmatisme dan Oportunitas
Kemarin orang-orang dihebohkan dengan pernyataan Jokowi tentang pilpres. "Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh, tetapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," ucap Jokowi di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1).
Pasca pemberitaan pernyataan tersebut, sebagian media menggoreng hal itu, dan sosial media memanas. Sebagian orang-orang menyesalkan pernyataan presiden. Sebagian lagi diam.
Yang menyesalkan, berharap Jokowi netral. Tapi di lain sisi, mereka juga menyerang kebijakan-kebijakan Jokowi dengan mengatakan bahwa pemerintahannya gagal.
Untuk Jokowi, relasi antara ia, Mega, dan Prabowo adalah relasi yang rumit. Ketiganya terlibat dalam banyak lapisan kerjasama dan pengkhianatan. Dan untuk kali ini, Jokowi dan Prabowo memiliki titik temu di pilpres kali ini dengan memajukan anaknya sebagai cawapres Prabowo.
Untuk keduanya, relasi yang terjadi adalah relasi bertemunya sikap oportunis Jokowi dengan sikap pragmatisnya Prabowo.
Bagi Jokowi, ia tidak akan mengulangi kesalahan beberapa presiden sebelumnya, semisal Pak Harto, Gus Dur, dan SBY. Untuk Pak Harto misalnya, upayanya menjadikan anaknya, Mbak Titut, sebagai menteri sosial terwujud di beberapa bulan menjelang akhir masa jabatannya.
Untuk Gus Dur, upayanya untuk menunjuk anaknya sebagai sekjen partai terjadi ketika kekuasaannya telah direbut dan dikudeta oleh Muhaimin—keponakannya.
Sedangkan untuk Pak SBY, netralitas yang ia lakukan di Pilpres 2014 dengan tidak mendukung besannya yang berpasangan dengan Prabowo, membuat ia tak memiliki kekuasaan besar pasca lengser. Bahkan suara pertainya ⅔ hilang, dan menyisakan angka 7 persen. Selain itu upayanya untuk memajukan anaknya di Pilgub Jakarta 2017 juga tak membuahkan hasil.
Belajar dari hal itu, Jokowi kemudian bertindak secara oportunis. Jika beberapa presiden lainnya gagal dalam memajukan dan membantu karir anaknya, kenapa ia yang masih memiliki kekuasaan yang fit tidak memanfaatkan hal itu secara langsung. Toh konstitusi “kemudian” membenarkan.
Sedangkan bagi Prabowo, kekalahan berkali-kali dalam pilpres membuat ia harus berpikir pragmatis, menggunakan instrumen paling ampuh untuk bermain dalam kontestasi, yaitu dengan berpasangan dengan bagian pengendali kekuasaan saat ini, yaitu Jokowi.
Perlu diketahui, saat ini, selain menguasai 46% kursi parlemen, aliansi Prabowo-Jokowi juga menguasai 80% penunjukan PJ pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. Plus aparat penegak hukum dan instrumen lainnya.
Hal ini tentunya membuat Jokowi, memiliki kekuatan yang sangat besar dibanding koalisi manapun di negeri ini. Sehingga pernyataan Jokowi kemarin, yang didampingi oleh Prabowo dan Panglima TNI, membuat semua lawan politiknya dan Prabowo mau tidak mau harus berbaik hati dengan berharap Jokowi menjadi orang yang netral di 14 Februari mendatang yang tinggal dua mingguan lagi.